Jumat, 28 November 2008

editorial 2



Iklim Investasi di Indonesia Tergolong Terburuk di Dunia



Untuk kesekian kalinya, iklim investasi di Indonesia dinilai sebagai salah satu yang terburuk di dunia. Juga untuk kesekian kalinya, Bank Dunia memberikan penilaian yang sama. Indonesia bukan menjadi tujuan utama investasi asing. Para pemodal yang sudah mengenal Indonesia pun berusaha menghindari negeri ini.
Hasil survei Bank Dunia terhadap 155 negara menunjukkan, iklim investasi di Indonesia tergolong paling buruk di muka bumi. Iklim investasi yang dimaksudkan mencakup stabilitas ekonomi makro, kepastian hukum, sistem perpajakan, regulasi, korupsi, ketersediaan SDM terampil, dan ketersediaan infrastruktur (listrik, jalan, pelabuhan, telekomunikasi, dsb).
Dalam laporan Bank Dunia berjudul 'Doing Business in 2006' dijelaskan, untuk memulai bisnis di Indonesia, para pemodal membutuhkan waktu 151 hari. Hanya sedikit lebih cepat dibanding Laos. Waktu yang diperlukan memang sangat panjang karena para pemodal harus melewati 12 prosedur. Sedangkan biaya untuk memulai usaha yang harus dikeluarkan investor mencapai 101,7% dari PDB per kapita. Dari 26 negara yang disurvei, Indonesia hanya lebih baik dari Timor Leste dan Laos.
Untuk sekadar mendapatkan perizinan di Indonesia, pemodal harus menghabiskan waktu 224 hari. Biaya minimal yang dikeluarkan 364,9% dari PDB per kapita dan modal minimum yang dihabiskan 97,8% dari PDB per kapita.
Kondisi ini diperparah oleh korupsi yang merebak di mana-mana, di berbagai level. Untuk memperlancarkan proses perizinan, pemodal terpaksa menyerahkan sejumlah uang. Tidak jarang, setelah menerima uang, permintaan pemodal tidak segera diselesaikan. Itu sebabnya, ada pemodal yang menyarankan korupsi dilegalkan agar pengusaha mendapatkan kepastian.
Regulasi di Indonesia dinilai sangat lemah dan ini nyaris mencakup semua aspek. Sebutlah regulasi di bidang perpajakan, ketenagakerjaan, perizinan, kepemilikan properti, investasi, dsb. Regulasi yang lemah menyebabkan ketakpastian hukum dan dalam ketakpastian hukum pungutan liar dan berbagai tindak korupsi merajalela.
Para pengusaha selama ini mengeluhkan tarif pajak yang terlalu tinggi, jenis pajak yang terlampau banyak, pajak berganda (double taxation), dan posisi petugas pajak yang terlampau tinggi. Sistem perpajakan di Indonesia sama sekali tidak mencerminkan kesetaraan antara wajib pajak dengan petugas pajak.
Sistem perpajakan di Indonesia terlalu memberatkan pengusaha. Survei Bank Dunia menunjukkan, pengusaha harus membayar pajak sebesar 38,8% dari keuntungan kotor. Selain menguras dana begitu besar, para pengusaha menyisihkan waktu hingga 560 jam per tahun untuk mengurusi pembayaran pajak.
Peraturan ketenagakerjaan juga terlampau memberatkan pemodal. Pekerja yang terkena PHK tetap mendapatkan uang pesangon meski si pekerja dipecat lantaran tindak kriminal atau pelanggaran berat. Tidak heran bila Indonesia tertinggi dalam soal biaya untuk mem-PHK karyawan, yaitu mencapai 145 gaji mingguan.
Untuk menarik minat investor, peraturan ketenagakerjaan memang tidak boleh hanya menguntungkan satu pihak, apakah itu pekerja, pengusaha sebagai pemberi kerja, ataukah konsumen sebagai pengguna produk dan pemakai jasa. Regulasi yang benar, dan ini harus diusahakan pemerintah, adalah peraturan ketenagakerjaan yang menguntungkan semua pihak. Menguntungkan pekerja, pengusaha, dan konsumen.
Tanpa salah satu pihak, tidak akan ada satu pun perusahaan yang bisa bertahan, apalagi berkembang. Sebuah perusahaan mampu eksis dan bahkan berkembang maju jika produk yang dihasilkan atau jasa yang disediakan diterima dan memuaskan konsumen, jika para pekerja bekerja dengan penuh semangat dan dedikasi, jika pengusaha tetap komit untuk menyuntikkan modal, baik untuk ekspansi usaha maupun ketika merugi.
Untuk membuat regulasi yang benar tidak sulit. Pemerintah bisa membentuk tim ahli untuk mempelajari berbagai regulasi di negara-negara maju seperti di Eropa, AS, dan Jepang. Juga regulasi di negara-negara Asia yang sudah mencapai tahapan kemajuan lebih baik dibanding Indonesia namun memiliki karakteristik yang hampir sama dengan Indonesia. Hanya dengan sedikit modifikasi, Indonesia akan memiliki regulasi yang baik di berbagai bidang.
Semua yang disarankan ini sesungguhnya sudah diketahui pemerintah. Persoalan pokok bukan pada ketidaktahuan, melainkan kemauan. Sangat boleh jadi, berbagai regulasi yang hanya menguntungkan pihak tertentu disebabkan oleh tingginya kepentingan para pengambil keputusan.
Pada awal 1990-an, Indonesia digolongkan dalam satu gerbong dengan Malaysia dan Thailand sebagai negara berkembang yang segera menjadi negara industri baru. Namun, pada awal 2000-an, Indonesia sudah dipindahkan ke gerbong lain bersama Vietnam dan Cina. Kini, Cina dan Vietnam lebih menarik minat pemodal asing ketimbang Indonesia.
Tiada solusi lain untuk membuka lapangan pekerjaan selain memperbaiki iklim investasi. Hanya dengan iklim investasi yang kondusif, para pemodal, dalam dan luar negeri, berani menanamkan modalnya.

Tidak ada komentar: